Post-Strukturalisme: Membongkar Struktur Dunia dengan Kebebasan.

Defta Ananta
8 min readFeb 15, 2020

--

Pandangan post-strukturalisme lahir sebagai suatu kritik yang mensubversi kecenderungan dalam pemaknaan serta pembacaan atas dunia yang terkesan stagnan pada titik tertentu. Post-strukturalisme menganggap bahwa pemaknaan serta pembacaan tsb harus terus berjalan dan berkembang, maka dalam kata lain proses pemaknaan serta pembacaan tersebut tidak pernah selesai.

Proses pemaknaan yang dimaksudkan oleh post-strukturalisme adalah suatu hal yang bersifat dinamis, historis, transformatif, progresif, subversive, dekonstruktif, dan cenderung revolusioner. Tentu hal ini bertolak belakang dengan ideologi yang melatarbelakanginya yaitu strukturalisme yang cenderung melihat bahwa proses pemaknaan tersebut adalah suatu hal yang bersifat, ahistoris, reproduktif, retrospektif, dan statis.

Dalam konteks post-strukturalisme, proses pembacaan serta pemaknaan juga berarti sebuah proses pembacaan yang terus menerus untuk menemukan berbagai kemungkinan makna. Maka setiap proses pemaknaan dapat dikritik, dilengkapi, dan diperkaya oleh pemaknaan-pemaknaan berikutnya.

Post-strukturalisme merupakan sebuah bentuk kritik atas ketidakpuasan pendekatan strukturalisme yang menutup kemungkinan interpretasi yang lebih berorientasi pada masa depan suatu teks; sebuah tafsiran yang lebih dinamis dan produktif. Bentuk kritik tersebut terbagi ke dalam dua gerakan utama yang mengembangkan post-strukturalisme menjadi suatu aliran epistemologis. Pertama, gerakan yang berupaya mengoreksi apa yang telah dilakukan oleh strukturalisme. Kedua, gerakan yang lebih radikal dengan tujuan untuk “menghancurkan” pandangan strukturalisme.

— — — — — —

Segala bentuk logika biner yang membagi entitas, realita, dll ke dalam struktur hierarkis di tolak dalam pandangan post-strukturalisme. Seperti adanya kecenderungan pemaknaan maskulinitas serta feminimitas yang masing-masing memiliki kualitas yang bersebrangan serta memiliki kedudukan yang berbeda dalam konteks kebudayaan. Tetapi pada praksis kehidupan, terdapat sebuah ranah abu-abu yang tidak jatuh kedalam dua kategori tersebut. Dalam hal ini pendekatan strukturalisme dinilai kurang relevan dalam menjelaskan ranah abu-abu tersebut. Terlebih dalam fenomena tentang relasi gender pada zaman sekarang yang melahirkan banyak keragaman. Relasi gender tidak lagi bersandar pada dua kategori utama (maskulin & feminim) melainkan timbul beragam relasi lain seperti non-feminime (female perversion) serta non-masculine (male perversion).

Secara fundamental, post-strukturalisme menolak hierarki makna, contohnya ketika kita berupaya membedah fenomena budaya punk, kecenderungan untuk mengelompokan anak-anak punk kedalam “kelas-kelas” punk menjadi tidak relevan. Hal ini disebabkan oleh nature dari budaya punk yang bersifat egaliter dan anti-establisment. Pengelompokan yang menyebabkan segmentasi menjadi tidak relevan karena dalam hal ini semuanya memiliki posisi yang setara.

Salah satu pembeda post-strukturalisme terhadap strukturalisme terdapat dalam perbedaan pandangan pada ‘struktur’. Menurut strukturalisme kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur, sedangkan struktur sendiri adalah hubungan mutual antar konstituennya. Dalam hal ini bahasa menjadi penting sebagai pokok pembahasan. Post-strukturalisme menolak adanya petanda absolut, makna absolut serta transendental, atau makna universal yang diklaim oleh pemikir strukturalisme pada umumnya. Pemikir post-strukturalisme berpendapat bahwa dengan adanya ‘penjarakan’ (difference) hal yang dimaksud sebagai petanda absolut akan selalu berupa jejak dibelakang jejak. Karenanya akan selalu timbul celah antara penanda serta petanda, teks dengan maknanya. Menurut post-strukturalisme, celah tersebut menyebabkan pencarian akan makna absolut mustahil untuk dilakukan, karena setelah kebenaran ditemukan, ternyata masih ada jejak kebenaran lain di belakangnya.

Beberapa evaluasi post-strukturalisme thd kelemahan strukturalisme adalah

1. Belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap

2. Karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur sosial

3. Kesangsian terhadap struktur objektif karya

4. Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya

5. Karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya

— — — — — — — — — -

Post-strukturalisme tidak menaruh perhatian pada struktur dan sistem tanda, akan tetapi pada pembentukan ‘subjek’ dalam bahasa, serta peranan subjek pada dalam perubahan bahasa. Hal ini tentu bertolak belakang dengan cara berpikir strukturalis. Cara berpikir semiotika struktural (penanda & petanda) yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, hal ini juga lekat dengan anggapan bahwa tanda sebagai tak lebih dari refleksi dari realitas yang ada.

Bagi Derrida, penanda dan petanda tidak lagi dianggap sebagai satu kesatuan, bagai dua sisi dari selembar kertas, melainkan dua entitas yang terpisah; petanda tidak begitu saja hadir (presence), melainkan ia selalu didekonstruksi, dalam pengertian ia selalu berada dalam suatu kerangka relasi tanpa akhir dengan penanda lainnya, BUKAN dengan sebuah petanda atau makna. Hubungan antara petanda dan penanda tidak lagi bersifat simetris dan stabil berdasarkan satu konvensi tertentu, akan tetapi terbuka bagi suatu permainan bebas penanda, atau dalam makna lain pemaknaan terhadap sesuatu akan berdasar pada kebebasan subjek.

Kemudian post-strukturalisme, atau dalam hal ini Derrida khususnya, menolak oposisi biner antara tuturan><tulisan, penanda><petanda, ada><tak ada, murni><tercemar, dan pada ujungnya penyangkalan pada adanya suatu kebenaran tunggal itu sendiri (logos), menurutnya kecenderungan tersebut melahirkan sifat logosentris yang menutup adanya kemungkinan kebenaran yang lain. Salah satu gagasan utama post-strukturalisme adalah kritiknya terhadap pencarian kebenaran absolut (logos) yang mustahil untuk dilakukan. Maka dalam hal ini Derrida berpendapat bahwa perubahan makna akan terus-menerus terjadi di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).

Mengapa demikian? dalam sudut pandang post-strukturalisme, tanda-tanda tidak dibiarkan terpancang secara abadi pada posisi tetap dan identitasnya, akan tetapi secara ironis dan bahkan radikal dijungkirbalikkan, dipertentangkan, ditumpangtindihkan, sehingga posisinya tidak lagi abadi dan stabil. Tanda-tanda tersebut dikawinsilangkan, dikombinasikan, secara kontradiktif sehingga pada akhirnya akan muncul suatu antagonisme, kontradiksi, dan paradoks-paradoks. Pada akhirnya sebuah penanda tidak perlu lagi mengacu pada sebuah ‘konsep abstrak’ di baliknya (petanda), dengan pengertian konsep atau makna di balik sebuah tanda dianggap tidak terlalu memiliki signifikansi. Penggunaan tanda secara ironis dan subversif ini terlihat pada kelompok-kelompok subkultur (hippies, punk, skin-head, drag). Hal tersebut merupakan contoh dari model pertandaan secara post-strukturalis yang bersifat subversive, dekonstruktif, dan instabil.

Prinsip Post-strukturalisme

Post-strukturalisme merupakan cara berpikir yang lebih mengutamakan peristiwa, dinamika, serta proses ketimbang struktur. Hal yang menjadi titik berat bagi post-strukturalisme adalah proses. Dalam post-strukturalisme makna suatu teks tidak terletak pada teks itu sendiri, melainkan berada ditangan para pembaca. Makna pada teks bergantung pada konteks, interaksi pembaca, dan teks tidak bersifat tertutup. Hal ini menuntun pada adanya suatu proses pemaknaan tanpa akhir yang menjadi ciri khas dari post-strukturalisme itu sendiri. Makna pada teks akan terus berdialog dengan zaman, dengan pembaca yang memiliki beragam latar belakang berbeda yang akan memancarkan suatu ketidakselesaian / keutuhan dari makna itu sendiri. Namun, dalam hal ini juga menyiratkan adanya suatu ketidakpastian makna.

Sifat subversif yang terkandung sebagai semangat dalam pandangan post-strukturalisme membuka ruang-ruang baru yang menghilangkan pusat-pusat, struktur baku yang mengikat (rule). Di dalam ruang-ruang tersebut terdapat suatu proses pemaknaan tanpa akhir yang bersifat subversif dan dekonstruktif serta membuka potensi akan reinterpretasi sehingga adanya kemungkinan-kemungkinan baru bagi setiap pembaca dari zaman dengan zeitgeist yang berbeda-beda.

Pada masa modernisme, pemaknaan estetika itu cenderung tunggal, di dalamnya hampir tidak ada poliinterpretasi terhadap apa yang dimaksud dengan estetika. Prinsip dasarnya cenderung tunggal dan sama. Dalam dunia design, fashion, ekonomi pada umumnya prinsip-prinsip yang berkembang bersifat universal. Dan tentu merujuk pada suatu gaya atau aturan yang sama. Pola tersebutlah yang berusaha ditolak oleh post-strukturalisme dengan memperjuangkan keberagaman, menghargai dan lebih memaknai hal-hal yang termarjinalisasi akibat adanya pemisahan dan hierarki atas makna. Berbagai karya, teks, dan lainnya memiliki medan maknanya sendiri, hal tersebut tentu layak untuk diperhitungkan. Hal ini tentu sangat bersebrangan dengan strukturalisme yang lebih berfokus pada pencarian makna absolut serta titik pusat.

Tentu adanya pola pemaknaan yang kaku a la strukturalisme melahirkan konsensus yang menjadi acuan. Akan tetapi adanya hierarki kebenaran antara yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut lah yang berpotensi menutup kelahiran konsensus-konsensus baru yang lebih melibatkan kebenaran lainnya yang mungkin lebih relevan dengan perubahan zaman.

Prospektif

Pembacaan secara prospektif juga salah satu prinsip utama di dalam post-strukturalisme. Dengan anggapan bahwa semua hal ini akan terus berubah, demikian dengan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Ia akan selalu hadir dan hadir dalam kebaruan. Proses membaca secara prospektif juga menawarkan suatu kebaruan. Kebaruan yang hadir sebagai bentuk perpaduan antara ‘dunia makna’ yang ditawarkan oleh suatu teks. Setidaknya ada tiga bentuk; dunia di belakang teks (konteks historis), dunia dalam teks (realitas dalam teks), dan dunia di depan teks (makna baru yang tercipta dalam pembacaan). Makna baru yang tercipta dimungkinkan oleh adanya peleburan horizon antara pembaca serta teks. Gadamer menyebutnya sebagai fusion of horizon, berbagai dunia yang berada di luar suatu teks juga menggambarkan relasi ruang-waktu.

Secara terminologis pembacaan prospektif berarti adalah tafsiran prospektif yang bersifat terbuka dan secara eksplisit menerima beragam bentuk ketidakpastian, kontradiksi, serta paradoks yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa, fenomena, dan lainnya sebagai suatu teks. Pembacaan ini mencoba memberikan tafsir-tafsir baru dengan melepaskan diri dari setiap bentuk determinasi (transendensi, logosentrisme, hingga ketuhanan), sehingga membuka pintu bagi beragam bentuk kreativitas penafsiran sebagai bentuk kebebasan subjek. Tentu dalam prosesnya, pembacaan ini berupaya melepaskan diri determinasi logosentrisme, asumsi ketuhanan, fondasi transdental demi bisa ‘melihat ke depan’ dan mendukung produktivitas penafsiran. Dengan demikian akan terbentuk suatu horizon baru yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan metode pembacaan untuk menemukan fondasi atau prinsip-prinsip akhir seperti; hakikat, eksistensi, substansi, subjek, transendentalitas, kesadaran, hingga kebenaran Ketuhanan. Dengan ditemukannya hal tersebut tentu pembaca telah mencapai tujuan akhir dari pembacaan, setelah itu tidak ada lagi pintu masuk lain ke dalam sebuah teks (foreclosure). Prinsip-prinsip yang bersifat metafisik (seperti agama/moralitas) pada akhirnya menjadi suatu jaminan bagi fondasi pembacaan-pembacaan berikutnya yang membatasi, mengendalikan, serta mematok kemungkinan makna yang dapat dihasilkan pada suatu teks dan tentu menutup berbagai prospek kekayaan yang disediakan oleh bahasa.

Konklusi

Kemampuan menganalisis secara kritis muncul dari kemampuan kesadaran seseorang terhadap relasi yang terjadi antara hal-hal (kata, peristiwa, aktivitas) kemudian sadar akan konteks. Konteks itu sendiri dapat memiliki keterkaitan juga dengan konteks lain yang akan membangun cakrawala baru di mana kebenaran yang sebenarnya diucapkan secara diam-diam.

Seperti yang disarankan oleh para strukturalis untuk memahami A, kita harus memahami B (oposisi biner), sehingga kita dapat memahami lebih dalam dengan menganalisis relasi yang ada di antara keduanya. Ini masuk akal, tetapi memiliki beberapa kelemahan. Kaum strukturalis tidak menyadari kesinambungan makna yang dapat berubah dari waktu ke waktu, artinya kebenaran yang terletak pada A dan hubungannya dengan yang lain sangat dinamis.

Post-strukturalis menawarkan pendekatan hermeneutik, karena makna atau kebenarannya sangat dinamis dan harus diketahui bagaimana pengetahuan tentang A dihasilkan (ini mungkin melibatkan beberapa metode kritis, dari psikoanalisis, fenomenologi, dan analisis epistemologis yang lebih dalam untuk memahami bagaimana manusia berpikir), bagaimana konteks diproduksi, bagaimana pengetahuan terhadap sesuatu dioperasikan, bagaimana pengaruhnya terhadap aspek kehidupan yang paling banal, dll, bisa menjadi salah satu dari banyak pertanyaan pertama yang akan mengarahkan proses pembacaan.

Posisi kita sebagai subjek adalah konteks pertama dan penting yang harus kita sadari, karena Derrida hingga Barthes mengamini istilah/konsep "The death of the author" yang berarti tidak ada penentuan makna pertama yang dirancang oleh subjek pertama sebagai "pengarang/author". Kesadaran sebagai subjek yang aktif sangat penting karena setiap fenomena pada dasarnya bersifat dinamis karena berbenturan dengan fenomena di sekitar kita.

Oleh karenanya, tidak ada hierarki makna yang membagi sesuatu ke dalam oposisi biner, tetapi masalah lain muncul dari kesimpulan ini yang juga dipromosikan oleh para post-strukturalist. Dengaj absennya hierarki makna berarti tidak ada memberikan kepastian akan makna atau kebenaran yang ada di luar sana. Sehingga dibutuhkan subjek yang terlibat aktif dalam proses tersebut. Akhirnya, yang penting adalah apakah seseorang percaya atau tidak tentang makna/kebenaran yang dimilikinya. Dari perspektif psikoanalisis, ini dapat menciptakan keadaan turbulensi yang konstan atau bahkan neurosis pada kasus terburuk.

Namun baik itu pendekatan strukturalisme atau post-strukturalisme, syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang subyek adalah rasa ingin tahu dan kesadaran terhadap hubungan yang mendasar dari suatu keberadaan, serta kemandiriannya sebagai subjek sehingga ia dapat memahami dengan lebih baik. Dari sudut pandang fenomenologi melakukan metode epoche (kemampuan mentransfer kesadaran secara fleksibel ke subjek/objek lain) cukup penting untuk mendapatkan beberapa sudut pandang alternatif, yang akan berkontribusi banyak dalam proses penggalian makna atau kebenaran yang sebenarnya.

Sumber:

Teori Budaya Kontemporer, Yasraf A. Piliang & Jejen Jaelani, Aurora, 2018

Sejarah Estetika, “Jaques Derrida dan Dekonstruksi Estetika", “Citra, Kata, Sengketa", Martin Suryajaya, Gang Kabel, 2016

--

--

Defta Ananta
Defta Ananta

Written by Defta Ananta

journal of a wandering mind. | lifetime learner | musician

No responses yet